Selasa, 10 November 2015

Hujan Awal Musim

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula 
ia di udara tinggi, ringan, dan bebas; lalu
mengkristal dalam dingin; kemudian melayang
jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa
pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan
rumah dan kembali ke bumi

Puisi di atas adalah sepenggal karya dari Sapardi Djoko Damono berjudul Sihir Hujan. Seorang penyair terkenal dengan karya puisinya yang sederhana namun sarat makna. Tentang hujan.


Segala tentang hujan entah kenapa saya suka. Sebuah peristiwa Presipitasi (jatuhnya cairan dari atmosfer ke permukaan bumi) yang mengagumkan. Bagaimana tidak, jutaan larik air bak jarum jatuh ke setiap inci tubuh bumi. Membasahi yang kering. Menyegarkan yang layu.

Hujan. Sebuah momen sempurna yang banyak menginspirasi banyak orang. Kita tahu dalam film ataupun cerita di novel begitu banyak kejadian yang penuh emosi terjadi ketika hujan. Hujan mampu menjadikan sebuah momen biasa begitu menakjubkan. Dramatisasi alam.

Hujan adalah momen yang dirindukan bagi saya. Terlebih beberapa bulan terakhir kita dilanda kemarau panjang. Kemarau tahun ini saya pikir lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Kekeringan terjadi di sana-sini, kebakaran hutan dimana-mana. Kita semua seketika memiliki kerinduan yang sama: Hujan!

Makanya ketika hujan dua hari yang lalu, cukup deras – meski bukan hujan yang pertama- saya sangat menikmatinya. Bagaimana tidak, hujan itu turun ketika saya pulang dari kantor. Saya pulang menuju arah Arcamanik dari arah Babakansari. Ketika sampai di daerah Parakansaat hujan dengan serta merta jatuh membasahi. Sontak saya dan para pengguna jalan menepi, berteduh dan memakai jas hujan. Kebetulan jas hujan selalu tersedia di dalam tas begitu mencermati langit akhir-akhir ini yang kerap mendung.

Mungkin karena sudah lama tidak hujan, mungkin karena sudah lama bosan dengan kekeringan dan udara panas, saya perhatikan orang-orang yang kehujanan takada satupun yang terlihat menggerutu, cemberut atau marah-marah, meski pakaian basah. Mereka tertawa, menengadah wajah dan tangan seakan menyambut butir-butir hujan. Selamat datang!

Setelah memakai jas hujan saya melanjutkan perjalanan pulang. Hujan makin deras. Kaca helm sengaja tidak saya tutup. Merasakan butiran-butiran air hujan membasahi wajah, sejuk. Kesegaran dari hujan yang dirindukan.

Berkendara motor di bawah hujan awal musim penghujan begitu menyenangkan. Memperhatikan wajah-wajah segar para penyambut hujan di sisi-sisi jalan. Menghirup aroma tanah yang basah setelah sekian lama kering. Untuk yang terakhir, ini adalah hal lain yang saya suka ketika datangnya hujan. Aroma tanah.

Secara ilmiah, aroma khas yang muncul pada saat hujan disebut Petrichor. Petrichor adalah salah satu bau alami yang tercium saat hujan turun membasahi tanah yang kering. Petrichor sebenarnya disebabkan oleh beberapa hal. Namun, yang paling berkontribusi terhadap munculnya petrichor ada dua. Pertama, minyak yang menguap dari sejenis tumbuhan. Tumbuhan mengeluarkan sejenis minyak yang mudah menguap yang kemudian terkumpul di berbagai permukaan, seperti misalnya bebatuan. Minyak tersebut bereaksi dengan tetesan air hujan dan dilepaskan sebagai gas ke udara. 

KeduaGeosmin yang dilepaskan oleh mikroba. Geosmin adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh beberapa mikroba yang hidup di tanah, air tawar, dan air laut sepertiri cyanobactea dan actinobacteria. Geosmin dilepaskan ketika mikroba mati, dan saat terkena terpaan air hujan, geosmin terangkat ke udara dan terciptalah Aerosol Partikel Geosmin dalam udara. Geosmin juga penyebab mengapa ikan air tawar suka berbau tanah. Itu sekilas penjelasan tentang aroma tanah saat hujan yang saya peroleh dari Mbah Google.

Hujan taksekadar tentang air yang tumpah ruah membentuk jutaan jarum ke bumi, taksekadar aroma tanah yang menyegarkan. Hujan juga tak jarang menumpahkan berbagai kenangan. Mengalirkan memori, dari yang kemarin bahkan yang lampau.

Seperti kemarin. Berkendaraan dibawah guyuran hujan tanpa sadar menghadirkan lamunan masa kecil dulu. Ya, selalu masa kecil. Sebab hanya ketika kecillah saya banyak memiliki momen indah nan sempurna bersama hujan.

Main bola ketika hujan
Seperti halnya anak-anak, terutama yang hidup di perkampungan seperti saya, takada yang namanya pantangan dalam bermain, begitupun ketika hujan. Orang tua kami takpernah melarang anak-anaknya untuk bermain hujan-hujanan. Dan anehnya -seingat saya- kami takpernah sakit meskipun sering hujan-hujanan. Tidak seperti anak-anak zaman sekarang yang begitu rapuh, kena hujan sedikit saja langsung flu dan pilek.

Saya dan kakak laki-laki saya paling suka ngepel lantai teras rumah ketika hujan turun. Lho? Hehehe, itu hanya modus yang kami pakai supaya ibu mengijinkan kami main hujan-hujanan. Air hujan kami tampung dari corogan (saluran air dari genteng) ke dalam baskom atau ember besar, kemudian kalau sudah penuh diangkut dan diguyurkan ke lantai teras. Selanjutnya bukan dengan kain pel kami membersihkan lantai itu, tapi dengan badan kami. Kami meluncurkan badan di atas lantai basah yang licin, mulai dari tepi teras ujung sana sampai ujung teras satunya lagi. Kadang-kadang gantian sama kakak saling dorong pantat supaya meluncurnya lebih kencang. Begitu menyenangkan, lantai bersih bukan lagi pikiran kami.

Srodotan di lantai

Ketika hujan dulu, waktu saya kecil, ada beberapa permainan yang begitu saya suka melakukannya. Diantaranya, main ban bekas, main mobil-mobilan dari sendal, main bola, atau main perang-perangan.

Main ban bekas, biasanya ban motor bekas, adalah saya mendorong atau mengelindingkan ban bekas tersebut sepanjang jalan, selama hujan. Bertelanjang dada. Ramai-ramai berlari. Berlomba. Selanjutnya main mobil-mobilan yang bannya terbuat dari sendal bekas, ada pendorongnya dari bambu. Waktu kecil saya selalu membuat mainan dengan tangan sendiri. Belum pernah dibuatkan orang lain, atau membeli. Anak zaman dulu sungguh kreatif. Zaman dan alam banyak mendidik kami.

Main gelindingan ban bekas

Hujan banyak menyimpan cerita, menghadirkannya kembali bersama jutaan butir air. Mungkin dari setiap butiran air yang jatuh tersimpan satu kenangan. Sepuluh juta butiran air jatuh berarti sepuluh juta kenangan yang hadir bagi sepuluh juta manusia. Salah satunya saya. Mungkin. Bisa jadi.

Pulang berkendaraan saat hujan. Hujan awal musim. Membasahi kepala hingga kaki. Kuyup dengan kenangan indah, juga segala pengharapan. Aroma tanah yang menyegarkan. Ah, hujan selalu membuatku menjadi bocah!

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di
jalan yang panjang, menyusurnya dan tergelincir
masuk selokan kecil, mericik suaranya
menyusur selokan, terus mericik sejak sore,
mericik juga di malam gelap ini, bercakap
tentang lautan.

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>

WAJIB TAHU! INILAH CARA MENGETAHUI MADU YANG ASLI

Cara membedakan madu yang asli Meski madu bisa dibeli di banyak tempat, nyatanya tidak semua madu yang ditawarkan adalah madu asli. Banyak o...